Selasa, 17 November 2020

KLASIFIKASI HADIS BERDASARKAN ASPEK MATAN

REVIEW JURNAL ILMIAH DAN  BUKU

MATERI KLASIFIKASI HADIST BERDASARKAN ASPEK MATAN

Oleh :

Desy Saputri

(12505204007 / PGMI 1 A)

            Matan secara Bahasa berarti sesuatu yang keras dan tinggi (terangkat) dari bumi atau tanah. Secara terminologi matan berarti sesuatu yang berakhir padanya (terletak sesudah) sanad, yaitu berupa perkataan.[1] Pengklasifikasian  dan pembukuan hadis pada abad ke II  mereka masih memasukan perkataan para sahabat  dan fatwa tabi’in disamping hadis dari Nabi Muhammad SAW. Kesemuanya dibukukan secara bersamaan , dari situlah munculah kitab hadis yang marfu , mauquf , dan maqhtu.[2] Adapun penjelasan klasifikasi hadis berdasarkan aspek matan sebagai berikut :

a.        Hadis Marfu’

Hadis marfu` merupakan segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW dalam bentuk perkataan, perbuatan, taqrir (pengakuan/ketetapan) , ataupun sifat. Sehingga orang yang menyandarkan itu boleh jadi sahabat, atau selain sahabat, seperti Tabi’in dan lainya. Dengan demikian, sanad dari hadis marfu’ ini bisa bersambung dari awal sampai akhir sanad-nya, dan bisa juga Munqathi’, Mursal, atau Mu’dhal dan Mu’allaq.[3]

Hadis Marfu’ dibagi menjadi dua macam yaitu di Marfu’kan secara tegas (Sharih) dan di Marfu’ kan secara Hukum (Hukmi), Hadis yang dimarfu’kan secara sharih maksudnya hadis yang tegas-tegas dikatakan oleh seorang sahabat bahwa hadis tersebut di dengar atau dilihat oleh dan atau di setujui dari Rasulullah. Sedangkan Hadis yang di Marfu`kan secara hukum merupakan hadis yang seolah-olah lahirnya dikatakan oleh seorang sahabat (Mawquf Lafalnya).[4]

Hukum Hadis Marfu’ tergantung pada kualitas dan bersambung atau tidaknya sanad, sehingga dengan demikian memungkinkan suatu hadis Marfu’ itu berstatus Shahih, Hasan, atau Dha’if.

b.      Hadis Mawquf

Mawquf menurut Bahasa adalah waqaf , yang berarti berhenti atau stop. Sedangkan menurut istilah merupakan sesuatu yang disandarkan kepada sahabat baik dari pekerjaan, perkataan , persetujuan, baik bersambung sanadnya maupun terputus. Jadi sandaran hadis ini hanya sampai kepada sahabat tidak sampai kepada Nabi.[5]Urgensi hadis mauquf atau sunah sahabat dalam hukum islam sejalan dengan keutamaan generasi sahabat dan perananya  dalam pembentukan hukum islam. Praktik ibadah yang berdasarkan hadis mawquf misalnya perihal tidak wajibnya melakukan sujud tilawah yang didasarkan hadis mauquf dari ‘Umar Binal Khattab. [6]

Hukum mawquf sama dengan hadis marfu’, yaitu ada yang shahih, ada yang hasan maupun ada yang dhaif. Walaupun mawquf shahih pada mulanya tidak dapat dijadikan hujah , karena ia hanya perkataan atau perbuatan sahabat semata. Akan tetapi jika diperkuat oleh sebagian hadis , sekalipun dhaif ia dapat dijadikan hujah  sebagaimana hadis mursal karena substansial perbuatan sahabat adalah pengamalan sunnah. Demikian juga terkecuali apabila hadis mawquf dihukumi marfu’ ada yang disebut juga  marfu’ hukmi. Maksudnya, dilihat dari lafalnya mawquf, tetapi dilihat dari maknanya adalah marfu’. [7]

c. Hadis Maqhtu

Hadis Maqhtû’ adalah sifat matan yang disandarkan kepada tabi’in atau seorang generasi setelahnya, baik berupa perkataan, perbuatan, dan persetujuan. Sebagian ulama hadis seperti Asy Syafi’i dan Ath Thabrani menyebutkan, Maqhtû dimaksudkan Munqahti’, yaitu hadis yang sanadnya tidak muttashil, tetapi istilah ini tidak benar. Karena ungkapan Asy Syafi’i  tersebut sebelum terbentuknya istilah Mushthalah Al Hadis, sedangkan Ath Thabrani, dianggap menyimpang dari istilah yang disepakati oleh ulama.[8]

Hadis Maqthu’ tidaklah sama dengan Munqathi’, Karena Maqthu’ adalah sifat dari matan, yaitu berupa perkataan tabi’in atau Tabi’ al-tabi’in, sementara Munqathi adalag sifat dari sanad, yaitu terjadinya keterputusan sanad pada generasi sebelum sahabat dan tidak secera berturut-turut, apabila keterputusan sanad tersebut lebih dari satu orang perawi. Sanad pada hadis Maqthu’ bisa saja muttashil (bersambung) sampai kepada tabi’i yang merupakan sumber dari matan-nya.[9]

Hadis Maqhtû’ tidak dapat dijadikan hujah dalam hukum syara’ sekalipun shahih, karena ia bukan datang dari Nabi. Ia hanya perkataan atau perbuatan sebagian salah sati seorang umat islam. Akan tetapi, jika disana ada bukti-bukti kuat yang menunjukkan ke-marfû mursal. Diantara kitab yang dipandang banyak hadis Mawqûf  dan Maqhtû’ adalah Mushannaf Abi Syaybah, Mushannaf ‘Abd Ar-Razzaq dan Tafsir Ibnu Jarir, Ibnu Hatim, dan Al-Munadzir[10]

 

DAFTAR RUJUKAN

Andariyati, Leni . 2020.  Hadis dan Sejarah perkembanganya, Jurnal Ilmu Hadis. Vol. 4 No. 2

Khon , Abdul Majid.2015. Ulumul Hadist.  Jakarta : AMZAH

Muhammad fauzan azima, Edi Safri, Zulfikri, 2019. Studi Hadis Muslim (Kasus Studi Mauquf tentang praktik Nikah mut’ah pada masa sahabat). Jurnal Ulunnuha. Vol. 8 No. 1 .

Yuslem, Nawir. 2001. Ulumul Hadist. Jakarta : PT. Mutiara Sumber Widya

 

 

 

 

 



[1] Nawir Yuslem, Ulumul Hadist, ( Jakarta : PT. Mutiara Sumber Widya, 2001), Hal. 163

[2] Leni Andariyati, Hadis dan Sejarah perkembanganya, Jurnal Ilmu Hadis. Vol. 4 No. 2 Tahun 2020. Hal. 162

[3] Nawir Yuslem, Ulumul Hadist, ( Jakarta : PT. Mutiara Sumber Widya, 2001), Hal. 283

[4] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadist, ( Jakarta : AMZAH, 2015), Hal. 254-255

[5] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadist, ( Jakarta : AMZAH, 2015), Hal. 257

[6] Muhammad fauzan azima, Edi Safri, Zulfikri, Studi Hadis Muslim (Kasus Studi Mauquf tentang praktik Nikah mut’ah pada masa sahabat). Jurnal Ulunnuha. Vol. 8 No. 1 tahun 2019. Hal. 22

[7] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadist, ( Jakarta : AMZAH, 2015), Hal. 258-259

[8] Ibid,. Hal 262

[9] Nawir Yuslem, Ulumul Hadist, ( Jakarta : PT. Mutiara Sumber Widya, 2001), Hal. 293

[10] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadist, ( Jakarta : AMZAH, 2015), Hal. 263

Selasa, 10 November 2020

KLASIFIKASI HADIST DITINJAU DARI KUANTITAS PERAWI (Hadis Mutawatir dan Hadis Ahad)

 

REVIEW JURNAL ILMIAH DAN  BUKU

MATERI KLASIFIKASI HADIST

DITINJAU DARI KUANTITAS PERAWI

Oleh :

Desy Saputri

(12505204007 / PGMI 1 A)

Hadist Mutawatir

            Arti Mutawatir secara Bahasa berarti al-mutatabi, yang datang kemudian , beriring-iringan, atau beruntun.  Secara istilah hadist mutawatir adalah berita hadist yang yang bersifat indrawi (didengar atau dilihat) yang diriwayatkan oleh banyak orang yang mencapai maksimal diseluruh tingkatan sanad dan akal menghukumi mustahil menurut tradisi (adat) jumlah yang maksimal itu berpijak untuk kebohongan.[1] Kebenaran hadist mutawatir validitasnya didapat dari kelompok manusia dari kelompok manusia yang lain, kriteria kelompok ini secara adat dan kebudayaan tidak memungkinkan manusia ini untuk bersekongkol pada sebuah kesepakatan bohong.[2]

Adapun kriteria hadist mutawatir adalah sekurang – kurangnya jumlahnya menurut sebagian para ulama adalah 10 orang, Jumlah tersebut harus terdapat pada setiap lapisan atau tingkatan sanad,mustahil menurut adat abhwa mereka dapat sepakat untuk berbuat dusta, dan sandaran riwayat mereka adalah pancaindra, yaitu sesuatu yang dapat dijangkau oleh pancaindra (mahsusat), umpamanya melalui pendengaran atau penglihatan.[3]

Macam – macam hadist mutawatir ada (1) mutawatir lafzhi yaitu hadist yang mutawatir lafadz dan maknanya atau yang mutawatir riwayatnya pada satu lafadz (2) mutawatir ma’nawi yaitu hadist yang mutawatir maknanya saja, tidak pada lafadznya,[4] (3) Mutawatir Amali yaitu perbuatan dan pengalaman Syariah Islamiyah yang dilakukan Nabi secara praktis dan terbuka kemudian disaksikan dan diikuti. [5]

Kitab-kitab hadist mutawatir antara lain, Al Azhar Al- mutanatsirah fi Al- Akhbar Al- Mutawatirah karya As-Suyuthi, Qath Al- Azhar karya As- Suyuthi merupakan resume dari buku sebelumnya, Nazhm Al- Mutanatsir min Al- Hadist Al-Mutawatir , karya Muhammad bin ja’far Al-Kattani, dan Al-La’ali Al Mutanatsirah fi Al – Ahadits Al Mutawatirah karya Muhammad bin Thulun Ad – Dimasyqi.[6]

Hadist Ahad

            Hadis Ahad adalah hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat hadis mutawatir. Al Ahad merupakan kata jamak dari ahad yang berarti satu. Hadis Ahad merupakan hadis yang bersumber dari nabi Muhammad yang menurut periwayatanya tidak sampai kepada kriteria hadis mutawatir.[7]Kebenaran informasi hadist ahad validitasnya tidak ada jaminan , kecuali oleh orang yang membawa kabar itu sendiri.[8] Kedudukan hadis ahad berbeda-beda namun jumhur ulama sepakat yang berstatus maqbul wajib untuk diamalkan. Ulama juga berbeda pendapat tentang kehujjahan hadis ahad sebagai dalil aqidah, karena menganggap lemah berbeda dengan hadis mutawatir yang kuat.[9]

            Macam – macam hadist Ahad adalah :[10]

1.      Hadis masyur yakni berasal dari kata sahara, yasharu, syuhratan , wamashuurun yang berarti tenar, terkenal dan menampakan. Hadis Masyhur terbagi menjadi dua macam yaitu masyhur ishthilahi yaitu diriwayatkan oleh tiga orang lebih pada setiap tingkatan (Thabaqat) pada beberapa tingkatan sanad, tetapi tidak mencapai kriteria mutawatir dan Masyhur Ghayr ishthilahi yaitu hadist yang popular pada ungkapan lisan para ulama, tanpa ada persyaratan yang definitif.

2.      Hadis Aziz,  Hadis aziz artinya langka, karena sedikit atau langka adanya, atau terkadang posisinya menjadi kuat ketika didatangkan sanad lain. Secara istilah hadis aziz yaitu hadis yang tingkatan thabaqat dari beberapa tingkat sanadnya terdapat dua orang perawi saja. Hukum hadis aziz adakalanya shahih, hasan dan dhaif  tergantung persyaratan yang terpebuhi, jika memenuhi segala persyaratan berarti berkualitas shahih dan jika tidak memenuhi maka tergolong hadis hasan dan dhaif.

3.      Hadis Gharib  yaitu hadis yang terdapat hanya seorang perawi dalam satu tingkatan (thabaqat) sanad, atau pada sebagian tingkatan sanad walaupun dalam salah satu tingkatan saja, sedangkan pada tingkatan yang lain lebih dari satu orang. Hadis Gharib di bagi menjadi dua macam yaitu Gharib Mutlaq yaitu hadis yang gharabahnya  (perawi satu orang) terletak pada pokok sanad. Pokok sanad adalah ujung sanad, yaitu seorang sahabat, dan Gharib Nisbi (Relatif) yaitu hadis yang terjadi gharabahnya (perawinya satu orang) ditengah sanad.

 

DAFTAR RUJUKAN

Khon , Abdul Majid.2015. Ulumul Hadist.  Jakarta : AMZAH.

Mutualli, Abdul. 2018. Dikotomi Hadis Ahad-Mutawatir , Menurut Ali Mustafa Yaqub. Jurnal Tahdis, Vol. 9 No. 2

Shofiyyudin, M. 2016.  Epistemologi Hadist : Kajian Tingkat Validitas Hadis Dalam Tradisi Ulama Hanafi. Jurnal Studi Hadis, Vol. 2 No.1

Yuslem, Nawir. 2001. Ulumul Hadist. Jakarta : PT. Mutiara Sumber Widya.

 



[1] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadist, ( Jakarta : AMZAH, 2015), Hal.146

[2] M. Shofiyyudin, Epistemologi Hadist : Kajian Tingkat Validitas Hadis Dalam Tradisi Ulama Hanafi. Jurnal Studi Hadis, Vol. 2 No.1 Tahun 2016. Hal. 5

[3] Nawir Yuslem, Ulumul Hadist, ( Jakarta : PT. Mutiara Sumber Widya, 2001), Hal 203-204

[4] Ibid,. Hal. 204-206

[5] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadist, ( Jakarta : AMZAH, 2015),Hal.153

[6] Ibid,. Hal. 154

[7] Abdul Mutualli, Dikotomi Hadis Ahad-Mutawatir , Menurut Ali Mustafa Yaqub. Jurnal Tahdis, Vol. 9 No. 2 Tahun 2018. Hal 208

[8] M. Shofiyyudin, Epistemologi Hadist : Kajian Tingkat Validitas Hadis Dalam Tradisi Ulama Hanafi. Jurnal Studi Hadis, Vol. 2 No.1 Tahun 2016. Hal. 5

[9] Abdul Mutualli, Dikotomi Hadis Ahad-Mutawatir , Menurut Ali Mustafa Yaqub. Jurnal Tahdis, Vol. 9 No. 2 Tahun 2018. Hal 210

[10]Abdul Majid Khon, Ulumul Hadist, ( Jakarta : AMZAH, 2015), Hal.155-161

Senin, 09 November 2020

LANDASAN FILSAFAT PENDIDIKAN ASPEK ONTOLOGI

REVIEW MATERI KULIAH FILSAFAT 

LANDASAN FILSAFAT PENDIDIKAN ASPEK ONTOLOGI

            Secara etimologi kata ontology berasal dari Bahasa Yunani yaitu ontos dan logos. Ontos sendiri berarti wujud sedangkan logos berarti ilmu. Ontologi merupakan kajian filsafat Kuno yang berasal dari Yunani. Kajian dari Ontologi membahas keberadaan sesuatu yang bersifat nyata / konkret. Tokoh dalam filsafat ontology adalah Thales, Plato dan Aristoteles. Ilmu ontology tidak terlepas dari hakekat kebenaran dan kenyataan yang inheren dengan pengetahuan ilmiah yang tidak terlepas dari persepsi filsafat apa dan bagaimana.

            Beberapa teori kebenaran dalam pandangan ontology sering kali diidentifikasikan dengan metafisika. Persoalan tentang ontology menjadi bahasan utama dalam membahas realitas yang menjurus pada sebuah kebenaran. Dalam sebuah ilmu bahwa masalah yang dihadapi adalah masalah yang bersifat konkret dalam dunia nyata. Secara Ontologis, ilmu membatasi masalah yang dikajinya hanya terdapat  pada ruang jangkauan pengalaman manusia.

            Sedangkan makna dari Pendidikan yaitu usaha manusia untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi – potensi bawaan baik jasmani maupun rohani dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dan kebudayaan. Usaha yang dilakukan untuk menanamkan nilai dan norma tersebut akan diwariskan kepada generasi berikutnya untuk dikembangkan dalam hidupnya dan  kehidupan yang terjadi dalam suatu proses Pendidikan.

            Pendidikan di pandang dari sisi Ontologi yang berati persoalan tentang hakikat kebenaran sebuah pemikiran. Dalam sebuah Pendidikan berkaitan erat dengan eksistensi kehidupan manusia. Tanpa sebuah Pendidikan manusia tidak mungkin bisa menjalankan kehidupanya dengan baik dan terarah. Dalam sebuah Pendidikan secara khusus dapat difungsikan sebagai tempat  untuk menumbuh kembangkan segala potensi yang ada dalam diri manusia.

            Salah satu dasar falsafah dalam filsafat pendidika  dilihat dari dimensi ontologis adalah membawa rumusan kurikulum dimana kurikulum diarahkan agar lebih banyak memberi peserta didik untuk berhubungan langsung dengan objek-objek fisik yang menghasilkan verbal learning yaitu berupa kemampuan memperoleh data dan informasi yang harus dipelajari dan dihafalkan. Implikasi dimensi ontology dalam sebuah kurikulum Pendidikan bukan sebatas berkaitan dengan kehidupan sehari-hari melainkan sebagai sesuatu yang tidak terbatas dalam realitas fisik.

DAFTAR RUJUKAN

Jalaluddin dan Abdulloh. 2007. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: A-Ruzz Media.

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2008.  Kamus Bahasa Indonesia . Jakarta: Pusat Bahasa.

M. Nursalim. 2012 ‘Landasan Ontologis, Epistemologis, Dan Aksiologis Dalam Penelitian Psikologi’, Vol. 7.

Suriasumantri, Jujun S. 2007.  Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Abu Bakar, Yunus. 2014.  Filsafat Pendidikan Islam. Surabaya: digilib uinsby.

 


Selasa, 03 November 2020

STUDI AL QUR'AN DAN HADIST : NUZUL AL QUR'AN DAN ASBAB AL NUZUL

REVIEW JURNAL ILMIAH DAN  BUKU

MATERI NUZUL AL QUR’AN DAN ASBAB AL NUZUL

Oleh :

Desy Saputri

(12505204007 / PGMI 1 A)

Nuzul Al Qur’an

            Secara Bahasa kata nuzulul Qur’an berasal dari Bahasa Arab nuzul turun dan Al-Qur’an yang dalam Bahasa Indonesianya juga diterjemahkan Al- Qur’an. Dari dua kata tersebut nuzulul Qur’an dapat diartikan dengan turunya Al- Qur’an. [1] Ada beberapa tahapan turunya Al-Qur’an , yaitu Al Qur’an tersimpan di Lauhul Mahfudz, Setelah itu Allah menurunkan secara sempurna di Baitul Izzah (Langit Dunia) pada malam lailatur Qadar dan Dari Baitul Izzah  ke bumi (Kepada Rasulullah) secara berangsur-angsur  selama 22 tahun 2 bulan 22 hari, Sejak Rasulullah ditetapkan sebagai nabi hingga beliau meninggal. [2]

Hikmahnya dari turunya al Qur’an antara lain menguatkan hati Rasulullah dalam menghadapi orang – orang kafir yang membangkang , Sebagai Kasih saying pada Rasulullah ketika turunya wahyu, Memudahkan dalam menghafalnya bagi kaum muslimin, dan Sebagai argumentasi suatu peristiwa yang terjadi.[3]

            Cara wahyu diturunkan pada para nabi dan rasul sebagaimana dalam Qur’an surat Al- syura : 51 melalui 3 cara yaitu dengan pemberitahuan langsung (secara wahyu ) kedalam jiwa nabi, seperti mimpi nabi Ibrahim ketika diperintahkan menyembelih anaknya, dengan cara menyampaikan dibalik tabir dan dengan melalui perantara malaikat baik dengan bentuknya yang asli atau menyerupai manusia.[4]

Asbab Al Nuzul

            Secara etimologi, Asbabun nuzul berasal dari kata “Asbab” yang berasal dari “Sababa” yang artinya sebab-sebab, Nuzul Artinya turun. Yang dimaksud asbabun nuzul disini adalah ayat Al- Qur’an. Jadi, Asbabun Nuzul adalah suatu peristiwa yang menyebabkan turunya ayat-ayat Al- Qur’an baik secara langsung maupun tidak langsung. Atau dengan kata lain, segala fenomena yang melatarbelakangi terjadinya sesuatu dapat disebut asbab al nuzul. Namun, dalam pemakaianya, ungkapan asbab al nuzul khusus digunakan untuk menyatakan sebab yang melatarbelakangi turunya Al-Qur’an, Seperti halnya asbab al wurud secara khusus digunakan bagi sebab-sebab terjadinya hadis.[5]

            Dari definisi tersebut dapat diketahui, bahwa asbab al nuzul berkisar pada dua hal :[6]

1.      Karena terjadi peristiwa. Contoh dalam hal ini adalah : Suatu riwayat , “bahwa suatu ketika Rasulullah naik ke bukit shafa, dan berkata, “marilah berkumpul pada pagi ini !” Maka berkumpulah orang-orang Quraisy Rasulullah bersabda, “Bagaimana pendapat kalian seandainya aku beritahu kalian bahwa musuh akan datang besok pagi atau petang” kaum Quraisy menjawab, “Pasti kami percaya”. Rasulullah bersabda ,” Aku peringatkan pada kalian bahwa siksa Allah yang dahsyat akan datang”. Maka berkatalah abu lahab “Celakalah engkau ! Apakah hanya untuk ini engkau kumpulkan kami?” Maka Allah menurunkan surat Al-Lahab. (HR. Bukari)

2.    Karena ada pertanyaan yang diajukan pada Rasulullah. Dalam hal ini adalah contoh yang diriwayatkan Muad’z bin Jabal r.a ia berkata, “Ya Rasulullah orang-orang Yahudi datang kepadaku mengemukakan pertanyaan tentang bulan, bukankah bulan itu selalu saja pada mulanya tampak kecil, kemudian bertambah besar dan membundar, lalu kembali mengecil lagi seperti semula.” Kemudian turunlah QS. Al-Baqarah : 189

Urgensi dan Kegunaan Asbab Al-Nuzul diantaranya dapat Mengetahui hikmah diundangkan suatu hukum dan perhatian syara terhadap kepentingan umum dalam menghadapi suatu peristiwa, Dapat membatasi hukum yang diturunkan dengan sebab yang terjadi, apabila hukum itu dinyatakan dalam bentuk pernyataan umum, apabila lafadz yang diturunkan berbentuk umum dan terdapat dalil atas pengkhususanya, maka pengetahuan mengenai asbab al nuzul membatasi pengkhususan itu hanya terhadap yang selain bentuk sebab, Mengetahui asbab al nuzul adalah cara terbaik untuk memahami makna Al- Qur’am dan menyingkap makna yang tersembunyi dalam ayat-ayat yang tidak dapat ditafsirkan tanpa mengetahui asbab al nuzulnya, dan Sebab nuzul menerangkan kepada siapa ayat ditunjukan sehingga tidak serta merta dapat ditunjukan kepada orang lain.[7]

DAFTAR RUJUKAN

Bakar, Abu. 2014.  “Nuzul Al Qur’an , Sebuah Proses Gradualisasi”, Jurnal Madania, Vol. 4

Drajat, Amroeni. 2017.  Ulumul Qur’an Pengantar ilmu-ilmu Al Qur’an.  Depok : Kencana

Gufron , Muhammad Gufron dan Rahmawati. 2013. Ulumul Qur’an , Yogyakarta : Teras.

Wahidi, Ridhoul. 2015.  “Asbabun Nuzul Sebagai cabang Ulumul  Qur’an” Jurnal Syahadah”, Vol. 3 No. 1 .

 



[1] Abu Bakar, “Nuzul Al Qur’an , Sebuah Proses Gradualisasi”, Jurnal Madania, Vol. 4 (2014), Hal. 240

[2] Muhammad Gufron dan Rahmawati, Ulumul Qur’an , (Yogyakarta : Teras, 2013) Hal. 15

[3] Ibid,.  Hal 16

[4] Ibid,. Hal.  17

[5] Ridhoul Wahidi, “Asbabun Nuzul Sebagai cabang Ulumul  Qur’an” Jurnal Syahadah”, Vol. 3 No. 1 (2015), Hal 54

[6][6] Muhammad Gufron dan Rahmawati, Ulumul Qur’an , (Yogyakarta : Teras, 2013) Hal. 21-22

[7] Amroeni Drajat, Ulumul Qur’an Pengantar ilmu-ilmu Al Qur’an, (Depok : Kencana, 2017) Hal. 52

KLASIFIKASI HADIS BERDASARKAN ASPEK MATAN

REVIEW JURNAL ILMIAH DAN  BUKU MATERI KLASIFIKASI HADIST BERDASARKAN ASPEK MATAN Oleh : Desy Saputri (12505204007 / PGMI 1 A)             Ma...