Rabu, 21 Oktober 2020

Pragmatisme (filsafat berbasis kegunaan : J Dewey)

 

A.    Biografi John Dewey

John Dewey dilahiran di Burlington pada tahun 1859. Setelah menyelesaikan studinya di Baltimore ia menjadi Guru Besar di bidang filsafat dan kemudian juga dibidang pendidikan pada universitas-universitas di Mionnesota, Michigan, Chicago, (1894-1904), dan akhirnya di universitas Colombia (1904-1929.[1] Selama periode ini pula ia perlahan-lahan meninggalkan gaya pemikiran idealisme yang telah mempengaruhi sejak pertemuan dengan Morris. Jadi selain menekuni pendidikan, ia juga menukuni bidang logika, psikologi dan etika. Pengalaman Dewey tidak hanya berhenti sampai di Universitas Chicago. Terakhir ia berkarya sebagai dosen di Universitas Colombia dalam tahun 1904. Di universitas ini, Dewey berkarya sebagai seorang profesor filsafat sampai ia pensiun pada tahun 1929. Dalam periode ini, Dewey banyak mengadakan perjalanan antara lain ke negara-negara Eropa serta Jepang, Cina, Meksiko, dan Rusia. Di Jepang, misalnya, ia memberikan kuliah-kuliah dalam bentuk ceramah yang kemudian akan menjadi dasar pengembangan filsafat rekunstruksinya. Dalam tahun 1924, ia juga berkunjug ke Turky untuk mengadakan rekunstruksi terhadap sistem pendidikan yang dijalankan di sana. Hal yang sama juga dilakukan dalam kunjugannya ke Meksiko dan Rusia dalam tahun 1928.[2] Dewey adalah seorang pragmatis, namun ia lebih suka menyebut sistemnya dengan istilah Instrumentalis.

 Menurutnya tujuan filsafat ialah untuk mengatur kehidupan dan aktivitas manusia secara baik untuk di dunia dan sekarang.[3]

B.     Sistem filsafat pragmatisme menurut john dewey

apa yang memengaruhi Dewey darikarya James tentang pragmatisme? Adalah karya James tentang mind yang mula-mula memengaruhi Dewey. Dalam karya besarnya, James dengan cemas menunjukan bahwa pikiran itu bersifat aktif terhadap dunia. Dalam hal ini, ia adalah lawan dari empirismetradisional yang menyajikan pengetahuan atau kepercayaan sebagai sebuah akibat mekanis dari kekuatan-kekuatan luar. Berbeda dengan itu, James menganalisis pengetahuan atau kepercayaan sebagai ciri-ciri aktifitas pribadi secara keseluruhan dalam rangkamemenuhi kebutuhan dan tujuannya. Dalam pandangan Dewey, inilah penyajian pikiran menurut model fungsional atau biologis. Ide-ide semacam inilah yang dijadikan asumsi dasar bagi Dewey untuk membangun sebuah pandangan dunia yang baru.

Dunia ini, kata Dewey, sedang dalam proses penciptaan dan secara konstan bergerak maju secara terus-menerus. Dewey benar-benar menekankan evolusi, reletivitas, dan proses waktu dalam pandangan dunianya. Pandangan dunia seperti ini tentu berbeda dengan pandangan dunia yang melihat dunia sebagai tetap yang mendominasi pemikiran Yunani dan abad tengah. Menurut Dewey, dunia tempat kita hidup sekarang ini adalah dunia yang belum selesai (an unfinished world). Kata kunci ini dapat di mengerti dengan baik ketika dihubungkan dengan tiga aspek dari instrumentalisme: temporalisme, futurisme, dan melionisme. temporalisme berarti bahwa ada gerak dan kemjuan riil dalam waktu. Orang tidak lagi berpegang akan pandangan realitas dari seorang penonton. Pengetahuan bukan hanya cermin atau refleksi akan dunia, tetapi ia membentuknya kembali dan melakukan perubahan padanya. Futurisme adalah melihat masa depan, dan bukan masa lalu. Masa depan yang tubuh dari masa lalu bukanlah pengulangan, tetapi masa yang sama sekali baru. Sedangkan meliorisme adalah pandangan yang menyatakan bahwa dengan berbagaiupaya dunia ini bisa kita buat menjadi lebih baik.[4]

C.    Konsep Dewey tentang pengalaman dan pikiran

Pengalaman (Experience) adalah salah satu kata kunci dalam filsafat instrumentalisme. Filsafat Dewey adalah “mengenai” (about) dan “untuk” (For) pengalaman sehari-hari. Pengalaman adalah keseluruhan drama manusia dan mencakup segala proses “ saling memengaruhi” (take and give) antara organisme yang hidup dalam lingkungan sosial dan fisik. Dewey menolak orang yang mencoba menganggap rendah pengalaman manusia atau menolak untuk percaya bahwa seseorang telah berbuat demikian. Dewey mengatakan bahwa pengalaman bukannya suatu tabir yang menutupi menusia sehingga tidak melihat alam. Pengalaman adalah satu-satunya jalan bagi manusia untuk memasuki rahasia-rahasia alam.[5]

Berdasarkan pendangannya tentang hubungan pengalaman dan corak berpikir di atas, Dewey membagi aspek pemikiran dalam dua aspek. Pada mulanya aspek pimikiran selalu berada dalam a) situasi yang membingkungkan dan tidak jelas, b) situsi yang jelas di mana masalah-masalah terpecahkan. Menurutnya, aktivitas berpikir selalu merupakan sarana untuk memecahkan masalah-masalah. Hal ini mengandaikan bahwa aktivitas inteligensi lebih luas dari sekedar aktivitas kognitif, yaitu meliputi keinginan–keinginan yang muncul dalam diri subyek ketika berhadapan dengan kesekitarannya. Inilah yang disebut Dewey teori instrumentalia tentang pengetahuan. Yang dimaksudkan dengan teori instrumentalisme adalah suatu usaha untuk menyusun suatu teori yang logis dan tepat dari konsep-konsep, pertimbangan-pertimbangan,penyimpulan-penyimpulan dalam bentuknya yang bermacam-macam, dengan cara pertama-tama menyelidiki bagaimana pikiran berfungsi dalam penentuan-penentuan yang berdasarkan pengalaman, yang mengenai konsekuensi-konsekuensi di masa depan.Teori ini juga yang mendorongnya untuk menyebut sistemnya dengan istilah instrumentalisme daripada disebut sebagai pragmatisme .[6]

Dalam perjalanan pengalaman seseorang, pikiran selalu muncul untuk memberikan arti dari sejumlah situasi-situasi yang terganggu oleh pekerjaan diluar hipotesis atau membimbing kepada perbuatan yang akan dilakukan. Kata Dewey, kegunaan kerja pikiran tidak lain hanya merupakan cara jalan untuk melayani kehidupan. Makanya, ia dengan kerasnya menuntut untuk menggunakan metode ilmu alam (Scientific Method) bagi semua lapangan pikiran, terutama dalam menilai persoalan akhlak(etika), estetika, politik dan lain-lain. Dengan demikian, cara penilaian bisa berubah dan bisa disesuaikan dengan lingkungan dan ebutuhan hidup.

Menurut Dewey yang dimaksud dengan  Scientific Method ialah cara yang dipakai oleh seseorang sehingga bisa melampaui segi pemikiran semata-mata pada segi amalan. Dengan demikian, suatu pikiran bisa diajukan sebagai pemecahan suatu kesulitan (to solve problematic situation), dan kalau berhasil maka pikiran itu benar.[7]

 

D.    Pengertian Pragmatisme

Kata pragatisme diambil dari kata Pragma (bahasa yunani) yang berarti tindakan, perbuatan (Encyclopedia Amerika, 15 : 683). Pragmatisme mula-mula diperkenalkan oleh Charles sanders Peirce (1839-1914), filosof Amerika yang petama kali menggunakan pragmatisme sebagai metode ffilsafat (Stroh, 1968). Bila pragmatisme disangkutkan dengan empirisme- kiranya sangkutan itu memang besar- maka sejarah pragmatisme berarti tersebar pada banyak filosof besar lainnya, salah satunya Jhon Loke. Selain itu tidak mudah membedakan pragmatisme dengan utilitarianisme. Karena kedua isme ini sama-sama menekankan kegunaan, maka pengusutan pengertian pragmatisme seharusnya kembali kepada Jhon Stuart Mill (1806-1873), anak tokoh besar  James Mill. Orang terakhir ini adalah kawan dekat Jeremy Bentham, seorang utilitarianis.[8]

Maka pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa  yang benar adalah apa saja yang membuktikan dirinya sebagai yang benar dengan akibat-akibat yang bermanfaat secara praktis. Misalnya, berbagai pengalaman pribadi tentang kebenaran mistik, asalkan dapat membawa keparaktisan dan bermanfaat. Artinya segala sesuatu dapat diterima asalkan bermanfaat bagi kehidupan.[9]

E.     Sejarah Filsafat Aliran Pragmatisme

Aliran pragmatisme pertama kali tumbuh di Amerika sekitar abad 19 hingga awal 20.Aliran ini melahirkan beberapa nama yang cukup  berpengaruh mulai Charles Sanders Pierce (1839-1914), William James (1842-1910), John Dewey, dan seorang pemikir yang juga cukup menonjol bernama George Herbert Mead (1863-1931). William James mengatakan bahwa secara ringkas prgamatisme adalah realitas sebagaimana yang kita ketahui. Charles S. Pierce-lah yang membiasakan istilah ini dengan ungkapannya, “Tentukan apa akibatnya, apakah dapat dipahami secara praktis atau tidak. Kita akan mendapat pengertian tentang objek itu, kemudian konsep kita tentang akibat itu, itulah keseluruhan konsep objek tersebut.” Ia juga menambahkan, untuk mengukur kebenaran suatu konsep, kita harus mempertimbangkan apa konsekuensi logis penerapan konsep tersebut. Keseluruhan konsekuensi itulah yang merupakan pengertian konsep tersebut. Jadi, pengertian suatu konsep ialah konsekuensi logis itu. Bila suatu konsep yang dipraktekkan tidak mempunyai akibat apa-apa, maka konsep itu tidak mempunyai pengertian apa-apa bagi kita.[10]

 

F.     Beberapa Kritik dan Komentar filsafat pragmatisme john dewey

Beberapa kritikus terhadap filsafat instrumentalisme tersebutdi antaranya adalah Bertrand Russell dan Harold H. Titus.

 Titus mencoba menghimpun berbagai kritik itu dalam enam hal. Pertama, filsafat pragmatisme, termasuk juga instrumentalisme Dewey, dinyatakan tidak memiliki metafisika yang memadai, karena menurut filsafat ini, berpikir spekulatif terhadap hakikat realitas hanya akan membuang-buang waktu semata. Kedua, pandangan pragmatisme tentang mind  dianggap tidak memuaskan, karena seorang pragmatis memandang mind sebagai alat yang secara psikologis membantu manusia untuk survive. Kritik ketiga, pandangan seorang pragmatis bahwa kebenaran itu adalah buatan manusia dan tidak memiliki eksistensi yang indpeenden tidak dapat   diterima begitu saja. Keempat, tampak adanya inkonsistensi antara klaim bahwa filsafat adalah sebuah perkembangan darikondisi sosial dengan tuntutan bagi objektivitas dalam penelitian, karena setiap orang yang hidup dalam lingkungan yang berbeda akan berpikir berbeda pula, sehingga terasa sulit untuk membangun sebuah pengetahuan ilmiah yang reliable secara universal. Kelima, para kritikus mempertanyakan apakah pragmatisme dapat di gunakan atau tidak untuk menjustifikasi sikap sosial bahwa individu atau kelompok mengharapkan kemajuan, karena tampaknya pragmatisme lebih menekankan pada tujuan yang dicari, bukan pada tujuan yang seharusnya di cari.[11]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

A.    Kesimpulan

John Dewey dilahiran di Burlington pada tahun 1859. Setelah menyelesaikan studinya di Baltimore ia menjadi Guru Besar di bidang filsafat dan kemudian juga dibidang pendidikan pada universitas-universitas di Mionnesota, Michigan, Chicago, (1894-1904), dan akhirnya di universitas Colombia (1904-1929)

Aliran pragmatisme pertama kali tumbuh di Amerika sekitar abad 19 hingga awal 20.Aliran ini melahirkan beberapa nama yang cukup  berpengaruh mulai Charles Sanders Pierce (1839-1914), William James (1842-1910), John Dewey, dan seorang pemikir yang juga cukup menonjol bernama George Herbert Mead (1863-1931).

Kata pragatisme diambil dari kata Pragma (bahasa yunani) yang berarti tindakan, perbuatan (Encyclopedia Amerika, 15 : 683). Pragmatisme mula-mula diperkenalkan oleh Charles sanders Peirce (1839-1914), filosof Amerika yang petama kali menggunakan pragmatisme sebagai metode ffilsafat (Stroh, 1968). Bila pragmatisme disangkutkan dengan empirisme- kiranya sangkutan itu memang besar- maka sejarah pragmatisme berarti tersebar pada banyak filosof besar lainnya, salah satunya Jhon Loke.

Maka pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa  yang benar adalah apa saja yang membuktikan dirinya sebagai yang benar dengan akibat-akibat yang bermanfaat secara praktis. Misalnya, berbagai pengalaman pribadi tentang kebenaran mistik, asalkan dapat membawa keparaktisan dan bermanfaat. Artinya segala sesuatu dapat diterima asalkan bermanfaat bagi kehidupan.

 

DAFTAR PUSTAKA

Hadwijono, Harun ,1994,Sari Sejarah Filsafat Barat., yogyakarta:Kanisius

Titus, Harold H, 1984,Persoalan-Persoalan Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang

Zubaedi,filsafat barat,2007,jogjakarta:AR-RUZZ MEDIA

Tafsir,Ahmad,Filsafat Umum Akal dan Hati sejak Thales SampaiCapra,Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

Muzairi,filsafat umum,2015,yogyakarta:Teras

 

 

 

 

 



[1] Harun Hadwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat.Cetakan Kedua, (yogyakarta:Kanisius, 1994), hlm.116.

[2] Harold H. Titus, Persoalan-Persoalan Filsafat, ( Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 347.

[3] Harun Hadwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat....hlm. 133-134

[4] Zubaedi,filsafat barat(jogjakarta:AR-RUZZ MEDIA,2007)hlm.138-139

[5] Haroid H. Titus, Persoalan-persoalan filsafat...hlm. 347.

[6] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, hlm. 134

 

[7] A. Hanafi, Ikhtisar Sejarah Filsafat Barat, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1981), hlm. 81-82.

 

[8] Prof. DR. Ahmad Tafsir, Filsafat Umum. (Bandung : PT Remaja Rosda Karya, 2010), hlm.190

[9] Muzairi,filsafat umum(yogyakarta:Teras,2015),hlm.140

[10] Ibid,hlm.190

[11] Zubaedi,filsafat barat...hlm.143-145

 

Tidak ada komentar:

KLASIFIKASI HADIS BERDASARKAN ASPEK MATAN

REVIEW JURNAL ILMIAH DAN  BUKU MATERI KLASIFIKASI HADIST BERDASARKAN ASPEK MATAN Oleh : Desy Saputri (12505204007 / PGMI 1 A)             Ma...