A. Biografi
John Dewey
John Dewey dilahiran di Burlington
pada tahun 1859. Setelah menyelesaikan studinya di Baltimore ia menjadi Guru
Besar di bidang filsafat dan kemudian juga dibidang pendidikan pada
universitas-universitas di Mionnesota, Michigan, Chicago, (1894-1904), dan
akhirnya di universitas Colombia (1904-1929.[1]
Selama periode ini pula ia perlahan-lahan meninggalkan gaya pemikiran idealisme
yang telah mempengaruhi sejak pertemuan dengan Morris. Jadi selain menekuni
pendidikan, ia juga menukuni bidang logika, psikologi dan etika. Pengalaman
Dewey tidak hanya berhenti sampai di Universitas Chicago. Terakhir ia berkarya
sebagai dosen di Universitas Colombia dalam tahun 1904. Di universitas ini,
Dewey berkarya sebagai seorang profesor filsafat sampai ia pensiun pada tahun
1929. Dalam periode ini, Dewey banyak mengadakan perjalanan antara lain ke
negara-negara Eropa serta Jepang, Cina, Meksiko, dan Rusia. Di Jepang,
misalnya, ia memberikan kuliah-kuliah dalam bentuk ceramah yang kemudian akan
menjadi dasar pengembangan filsafat rekunstruksinya. Dalam tahun 1924, ia juga
berkunjug ke Turky untuk mengadakan rekunstruksi terhadap sistem pendidikan
yang dijalankan di sana. Hal yang sama juga dilakukan dalam kunjugannya ke
Meksiko dan Rusia dalam tahun 1928.[2]
Dewey adalah seorang pragmatis, namun ia lebih suka menyebut sistemnya dengan
istilah Instrumentalis.
Menurutnya tujuan filsafat ialah untuk
mengatur kehidupan dan aktivitas manusia secara baik untuk di dunia dan
sekarang.[3]
B.
Sistem filsafat pragmatisme menurut john dewey
apa yang memengaruhi Dewey
darikarya James tentang pragmatisme? Adalah karya James tentang mind yang mula-mula memengaruhi Dewey.
Dalam karya besarnya, James dengan cemas menunjukan bahwa pikiran itu bersifat
aktif terhadap dunia. Dalam hal ini, ia adalah lawan dari empirismetradisional
yang menyajikan pengetahuan atau kepercayaan sebagai sebuah akibat mekanis dari
kekuatan-kekuatan luar. Berbeda dengan itu, James menganalisis pengetahuan atau
kepercayaan sebagai ciri-ciri aktifitas pribadi secara keseluruhan dalam
rangkamemenuhi kebutuhan dan tujuannya. Dalam pandangan Dewey, inilah penyajian
pikiran menurut model fungsional atau biologis. Ide-ide semacam inilah yang
dijadikan asumsi dasar bagi Dewey untuk membangun sebuah pandangan dunia yang
baru.
Dunia ini, kata Dewey, sedang dalam
proses penciptaan dan secara konstan bergerak maju secara terus-menerus. Dewey
benar-benar menekankan evolusi, reletivitas, dan proses waktu dalam pandangan
dunianya. Pandangan dunia seperti ini tentu berbeda dengan pandangan dunia yang
melihat dunia sebagai tetap yang mendominasi pemikiran Yunani dan abad tengah.
Menurut Dewey, dunia tempat kita hidup sekarang ini adalah dunia yang belum
selesai (an unfinished world). Kata
kunci ini dapat di mengerti dengan baik ketika dihubungkan dengan tiga aspek
dari instrumentalisme: temporalisme,
futurisme, dan melionisme. temporalisme berarti bahwa ada gerak dan kemjuan
riil dalam waktu. Orang tidak lagi berpegang akan pandangan realitas dari
seorang penonton. Pengetahuan bukan hanya cermin atau refleksi akan dunia,
tetapi ia membentuknya kembali dan melakukan perubahan padanya. Futurisme adalah melihat masa depan, dan
bukan masa lalu. Masa depan yang tubuh dari masa lalu bukanlah pengulangan,
tetapi masa yang sama sekali baru. Sedangkan meliorisme adalah pandangan yang menyatakan bahwa dengan
berbagaiupaya dunia ini bisa kita buat menjadi lebih baik.[4]
C. Konsep
Dewey tentang pengalaman dan pikiran
Pengalaman (Experience) adalah salah satu kata kunci
dalam filsafat instrumentalisme. Filsafat Dewey adalah “mengenai” (about)
dan “untuk” (For) pengalaman sehari-hari. Pengalaman adalah keseluruhan
drama manusia dan mencakup segala proses “ saling memengaruhi” (take and
give) antara organisme yang hidup dalam lingkungan sosial dan fisik. Dewey
menolak orang yang mencoba menganggap rendah pengalaman manusia atau menolak
untuk percaya bahwa seseorang telah berbuat demikian. Dewey mengatakan bahwa
pengalaman bukannya suatu tabir yang menutupi menusia sehingga tidak melihat
alam. Pengalaman adalah satu-satunya jalan bagi manusia untuk memasuki
rahasia-rahasia alam.[5]
Berdasarkan pendangannya tentang hubungan pengalaman dan
corak berpikir di atas, Dewey membagi aspek pemikiran dalam dua aspek. Pada
mulanya aspek pimikiran selalu berada dalam a) situasi yang membingkungkan dan
tidak jelas, b) situsi yang jelas di mana masalah-masalah terpecahkan. Menurutnya,
aktivitas berpikir selalu merupakan sarana untuk memecahkan masalah-masalah.
Hal ini mengandaikan bahwa aktivitas inteligensi lebih luas dari sekedar
aktivitas kognitif, yaitu meliputi keinginan–keinginan yang muncul dalam diri
subyek ketika berhadapan dengan kesekitarannya. Inilah yang disebut Dewey teori
instrumentalia tentang pengetahuan. Yang dimaksudkan dengan teori instrumentalisme
adalah suatu usaha untuk menyusun suatu teori yang logis dan tepat dari
konsep-konsep, pertimbangan-pertimbangan,penyimpulan-penyimpulan dalam
bentuknya yang bermacam-macam, dengan cara pertama-tama menyelidiki bagaimana
pikiran berfungsi dalam penentuan-penentuan yang berdasarkan pengalaman, yang
mengenai konsekuensi-konsekuensi di masa depan.Teori ini juga yang mendorongnya
untuk menyebut sistemnya dengan istilah instrumentalisme daripada disebut
sebagai pragmatisme .[6]
Dalam perjalanan pengalaman seseorang, pikiran selalu muncul
untuk memberikan arti dari sejumlah situasi-situasi yang terganggu oleh
pekerjaan diluar hipotesis atau membimbing kepada perbuatan yang akan
dilakukan. Kata Dewey, kegunaan kerja pikiran tidak lain hanya merupakan cara
jalan untuk melayani kehidupan. Makanya, ia dengan kerasnya menuntut untuk
menggunakan metode ilmu alam (Scientific Method) bagi semua lapangan
pikiran, terutama dalam menilai persoalan akhlak(etika), estetika, politik dan
lain-lain. Dengan demikian, cara penilaian bisa berubah dan bisa disesuaikan
dengan lingkungan dan ebutuhan hidup.
Menurut Dewey yang dimaksud dengan Scientific
Method ialah cara yang dipakai oleh seseorang sehingga bisa melampaui segi
pemikiran semata-mata pada segi amalan. Dengan demikian, suatu pikiran bisa
diajukan sebagai pemecahan suatu kesulitan (to solve problematic situation),
dan kalau berhasil maka pikiran itu benar.[7]
D.
Pengertian Pragmatisme
Kata pragatisme diambil dari kata Pragma (bahasa yunani) yang
berarti tindakan, perbuatan (Encyclopedia Amerika, 15 : 683). Pragmatisme
mula-mula diperkenalkan oleh Charles sanders Peirce (1839-1914), filosof
Amerika yang petama kali menggunakan pragmatisme sebagai metode ffilsafat
(Stroh, 1968). Bila pragmatisme disangkutkan dengan empirisme- kiranya
sangkutan itu memang besar- maka sejarah pragmatisme berarti tersebar pada
banyak filosof besar lainnya, salah satunya Jhon Loke. Selain itu tidak mudah
membedakan pragmatisme dengan utilitarianisme. Karena kedua isme ini sama-sama
menekankan kegunaan, maka pengusutan pengertian pragmatisme seharusnya kembali
kepada Jhon Stuart Mill (1806-1873), anak tokoh besar James Mill. Orang terakhir ini adalah kawan
dekat Jeremy Bentham, seorang utilitarianis.[8]
Maka pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar adalah apa saja yang membuktikan
dirinya sebagai yang benar dengan akibat-akibat yang bermanfaat secara praktis.
Misalnya, berbagai pengalaman pribadi tentang kebenaran mistik, asalkan dapat
membawa keparaktisan dan bermanfaat. Artinya segala sesuatu dapat diterima
asalkan bermanfaat bagi kehidupan.[9]
E.
Sejarah
Filsafat Aliran Pragmatisme
Aliran pragmatisme pertama kali
tumbuh di Amerika sekitar abad 19 hingga awal 20.Aliran ini melahirkan beberapa
nama yang cukup berpengaruh mulai
Charles Sanders Pierce (1839-1914), William James (1842-1910), John Dewey, dan
seorang pemikir yang juga cukup menonjol bernama George Herbert Mead
(1863-1931). William James mengatakan bahwa secara ringkas prgamatisme adalah
realitas sebagaimana yang kita ketahui. Charles S. Pierce-lah yang membiasakan
istilah ini dengan ungkapannya, “Tentukan apa akibatnya, apakah dapat dipahami
secara praktis atau tidak. Kita akan mendapat pengertian tentang objek itu,
kemudian konsep kita tentang akibat itu, itulah keseluruhan konsep objek
tersebut.” Ia juga menambahkan, untuk mengukur kebenaran suatu konsep, kita
harus mempertimbangkan apa konsekuensi logis penerapan konsep tersebut.
Keseluruhan konsekuensi itulah yang merupakan pengertian konsep tersebut. Jadi,
pengertian suatu konsep ialah konsekuensi logis itu. Bila suatu konsep yang
dipraktekkan tidak mempunyai akibat apa-apa, maka konsep itu tidak mempunyai
pengertian apa-apa bagi kita.[10]
F.
Beberapa Kritik dan Komentar filsafat pragmatisme
john dewey
Beberapa kritikus terhadap filsafat
instrumentalisme tersebutdi antaranya adalah Bertrand Russell dan Harold H.
Titus.
Titus mencoba menghimpun berbagai kritik itu
dalam enam hal. Pertama, filsafat
pragmatisme, termasuk juga instrumentalisme Dewey, dinyatakan tidak memiliki
metafisika yang memadai, karena menurut filsafat ini, berpikir spekulatif
terhadap hakikat realitas hanya akan membuang-buang waktu semata. Kedua, pandangan pragmatisme tentang mind
dianggap tidak memuaskan, karena seorang pragmatis memandang mind sebagai alat yang secara psikologis
membantu manusia untuk survive.
Kritik ketiga, pandangan seorang
pragmatis bahwa kebenaran itu adalah buatan manusia dan tidak memiliki
eksistensi yang indpeenden tidak dapat
diterima begitu saja. Keempat, tampak
adanya inkonsistensi antara klaim bahwa filsafat adalah sebuah perkembangan
darikondisi sosial dengan tuntutan bagi objektivitas dalam penelitian, karena
setiap orang yang hidup dalam lingkungan yang berbeda akan berpikir berbeda
pula, sehingga terasa sulit untuk membangun sebuah pengetahuan ilmiah yang reliable secara universal. Kelima, para kritikus mempertanyakan
apakah pragmatisme dapat di gunakan atau tidak untuk menjustifikasi sikap
sosial bahwa individu atau kelompok mengharapkan kemajuan, karena tampaknya
pragmatisme lebih menekankan pada tujuan yang dicari, bukan pada tujuan yang
seharusnya di cari.[11]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
John
Dewey dilahiran di Burlington pada tahun 1859. Setelah menyelesaikan studinya
di Baltimore ia menjadi Guru Besar di bidang filsafat dan kemudian juga
dibidang pendidikan pada universitas-universitas di Mionnesota, Michigan,
Chicago, (1894-1904), dan akhirnya di universitas Colombia (1904-1929)
Aliran
pragmatisme pertama kali tumbuh di Amerika sekitar abad 19 hingga awal 20.Aliran
ini melahirkan beberapa nama yang cukup berpengaruh
mulai Charles Sanders Pierce (1839-1914), William James (1842-1910), John
Dewey, dan seorang pemikir yang juga cukup menonjol bernama George Herbert Mead
(1863-1931).
Kata pragatisme diambil dari kata Pragma (bahasa yunani) yang
berarti tindakan, perbuatan (Encyclopedia Amerika, 15 : 683). Pragmatisme
mula-mula diperkenalkan oleh Charles sanders Peirce (1839-1914), filosof
Amerika yang petama kali menggunakan pragmatisme sebagai metode ffilsafat
(Stroh, 1968). Bila pragmatisme disangkutkan dengan empirisme- kiranya
sangkutan itu memang besar- maka sejarah pragmatisme berarti tersebar pada
banyak filosof besar lainnya, salah satunya Jhon Loke.
Maka pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar adalah apa saja yang membuktikan
dirinya sebagai yang benar dengan akibat-akibat yang bermanfaat secara praktis.
Misalnya, berbagai pengalaman pribadi tentang kebenaran mistik, asalkan dapat
membawa keparaktisan dan bermanfaat. Artinya segala sesuatu dapat diterima
asalkan bermanfaat bagi kehidupan.
DAFTAR PUSTAKA
Hadwijono, Harun ,1994,Sari
Sejarah Filsafat Barat., yogyakarta:Kanisius
Titus, Harold H, 1984,Persoalan-Persoalan
Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang
Zubaedi,filsafat barat,2007,jogjakarta:AR-RUZZ
MEDIA
Tafsir,Ahmad,Filsafat Umum Akal
dan Hati sejak Thales SampaiCapra,Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Muzairi,filsafat umum,2015,yogyakarta:Teras
[1] Harun
Hadwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat.Cetakan Kedua, (yogyakarta:Kanisius,
1994), hlm.116.
[2] Harold
H. Titus, Persoalan-Persoalan Filsafat, ( Jakarta: Bulan Bintang, 1984),
hlm. 347.
[3] Harun
Hadwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat....hlm. 133-134
[4] Zubaedi,filsafat barat(jogjakarta:AR-RUZZ MEDIA,2007)hlm.138-139
[5] Haroid
H. Titus, Persoalan-persoalan filsafat...hlm. 347.
[6] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah
Filsafat Barat 2, hlm. 134
[7] A. Hanafi, Ikhtisar Sejarah
Filsafat Barat, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1981), hlm. 81-82.
[8] Prof. DR. Ahmad Tafsir,
Filsafat Umum. (Bandung : PT Remaja Rosda Karya, 2010), hlm.190
[9] Muzairi,filsafat umum(yogyakarta:Teras,2015),hlm.140
[10] Ibid,hlm.190
[11] Zubaedi,filsafat barat...hlm.143-145
Tidak ada komentar:
Posting Komentar